Kaidah dalam "bahtsul masail"
Bagi yang pernah mengenal dunia pondok pesantren tentu familier dengan istilah bahtsul masail, atau kalau saya Indonesiakan menjadi forum diskusi pembahasan masalah. Dalam tradisi diskusi tersebut ada semacam rambu-rambu aturan yang kita pegang teguh (kaidah), diantaranya yaitu;
Kaidah "al-muhafazhatu ‘ala qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah" (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Dalam konteks fikih di Indonesia, kaidah ini misal dipraktikkan pada penggunaan peci untuk menjaga jidat tidak tertutup rambut saat sujud. Peci sebagai hal baru boleh diambil untuk menggantikan peran surban (hal lama). Maka dari itu saya sukanya pakai peci daripada pakai surban. Sama halnya dengan saya lebih suka pakai sarung daripada pakai celana cingkrang.
Selain itu ada kaidah "ma yusytaratu fihit ta’yinu fal khatha’u fihi mubthil" (apa yang disyaratkan di dalamnya kekhususan/ketentuan, maka kesalahan dalam pernyataannya menjadikannya batal). Misalnya; saya beli kambing untuk qurban, tapi niatnya malah untuk makan-makan hajatan, ini salah niat, qurbannya jadi tidak sah.
Kaidah dalam bahtsul masail |
Ada juga kaidah "al-dhararu yuzalu walakin la yuzalu al-dhararu bi al-dharar" (marabahaya/keburukan hendaknya dihilangkan tetapi tidak boleh menghilangkannya dengan marabahaya/keburukan baru). Umpamakan Anda termasuk kelompok muslim yang memandang demokrasi sebagai produk barat yang kafir sekuler. Itu thoghut, harus dilawan, dihilangkan. Monggo saja Anda berjuang dengan pelbagai cara untuk bikin khilafah Islamiyah. Tetapi, berdasarkan kaidah ushul fiqh tersebut, dilarang lho menggunakan cara-cara yang memicu marabahaya/keburukan baru. Misal, memecah belah bangsa, biar fentung-fentungan, lalu bikin negara baru. Itu gendeng namanya, akhiiii...
Terakhir, Wasalam....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar