Menjadi Agamis dalam Kapitalisme
Agama dan kapitalisme, 2 hal yang tidak sejajar untuk dibandingkan, tidak "apple to apple". Agama adalah sistem nilai, sedangkan kapitalis adalah sistem ekonomi. Namun dalam kehidupan bermasyarakat, kedua hal ini sering dipertentangkan.
Agama lebih mengedepankan nilai-nilai kemuliaan, dan disisi lain kapitalisme murni lebih mengedepankan materi, semakin banyak materi semakin banyak modal maka semakin baik.
Pada tahap selanjutnya, dikotomi tersebut tidaklah "putih-hitam", agama dapat dibawa ke ranah materi, dan kapitalisme melunak dengan memunculkan nilai-nilai kemanusiaan dan kemuliaan dari para pelakunya.
Stephan Batchelor, seorang penulis (beragama budha) dia juga pengajar di Inggris, pernah mengatakan; “Salah satu akibat dari proses formalisasi dan pelembagaan agama adalah agama jadi tersedot kembali ke dalam dimensi memiliki”. Dan seperti kita sudah mafhum bahwa keinginan untuk memiliki sebanyak-banyaknya hal akan berbanding terbalik dengan tingkat kebahagiaan.
Ada kalimat bijak yang saya cuplik dari artikel di milis bisnis yang viral 2013 yang lalu, kurang lebih begini: Tanpa air, kapal tidak dapat bergerak. Namun jika air sampai masuk kapal, maka karamlah semua. Tanpa materi, beragama tidak akan sempurna. Namun jika materi, harta benda, kepemilikan, sampai masuk ke hati maka hidup akan menderita, bahkan menjadi budak duniawi.
Dalam dunia ekonomi kapitalis kita kenal rumus untuk menghitung pendapatan yaitu I=C+S, dimana I adalah income/pendapatan. C adalah consumption/konsumsi. Dan S adalah Saving/tabungan. Jika kita aplikasikan rumus tersebut, maka yang terjadi adalah pola-pola kapitalisme. Dimana orang ingin income besar maka dia akan saving besar. Harapannya tentu agar dia kuat secara materi dikemudian hari.
Hal ini kalau saya bilang adalah jebakan kapitalisme.
Lantas apakah bisa disiasati?
Saya menemukan formula baru dari tulisan Erizely Bandaro, seorang hedge fund kelas dunia yang berbasis di Hongkong, seorang muslim, dimana beliau merumuskan I=C+S, hampir sama dengan rumusan diatas, namun faktor S disini tidak diartikan Saving, namun Sharing alias berbagi.
Lantas apa implikasinya dengan merubah S-saving menjadi S-Sharing?
Peran kesadaran beragama. Itulah alasan mendasar S tersebut diolah dari sekedar Saving menjadi Sharing atau berbagi.
Dibelahan bumi lain, dengan kesadaran agama, seorang Bill Gates yang Kristen bersedia membagikan lebih dari 1000 trilyun rupiah hartanya untuk membantu orang miskin. Ada juga Warrent Buffet yang juga menyumbangkan trilyunan harta untuk kemanusiaan. Di Indonesia ada keluarga Tahir yang juga "bersedekah" lebih dari 1 trilyun rupiah untuk orang lain.
Kembali ke judul saya diatas, tentang menjadi agamis setelah kapitalis, maka kedua hal tersebut sebenarnya hanya tentang "kesadaran". Orang-orang yang "raja kapitalis" setelah mencapai level spiritual tertentu akan berubah menjadi "angel", membantu jutaan orang dengan hartanya, ilmunya, juga lain-lainnya. Agama berperan sebagai nilai-nilai kemuliaan ditangan mereka.
Sementara itu, bertolak belakang dari hal diatas, justru ada oknum yang "agamis" lantas menyeret agama ke "kapitalis", itulah makanya kita sering mendengar istilah membisniskan agama. Bank yang jelas-jelas produk kapitalis, ditambahi kata "syariah" untuk kepentingan mencari pasar dari kalangan muslimin. Biro perjalanan, dilabeli islami, agar lebih mudah menggaet calon korban bisnis skema ponzi. Dan masih banyak contoh lainnya.
Apa kesimpulannya, silahkan anda nilai sendiri.
Blue Blood Moon - 31 Jan 2018 |
Ket Foto:
Fenomena Blue Blood Moon yang terjadi pada 31 Jan 2018 disebagian besar wilayah Indonesia.
Foto dari seorang kawan yang tinggal di Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar